Laju pertumbuhan konsumsi energi listrik di Indonesia mencapai hampir 20% setiap tahun. Di sisi lain, kenaikan produksi hanya 8,3% malahan dengan basis tahun 2004, hanya mencapai 5,3%. Banyak negara mengatasi permasalahan energi dengan membangun reaktor nuklir. Dalam tahun 2007 dibangun 34 unit, separuhnya lebih berada di Asia dari rencana 89-100 unit sampai tahun 2030. Karena dalam Perpres No. 5/2006 terdapat isyarat konstribusi energi baru termasuk nuklir sampai 5% pada tahun 2025, sebaiknya dilakukan upaya sosialisasi yang lebih intensif menuju pembangkit listrik tenaga nuklir yang secara pragmatis dapat diterima oleh masyarakat. Kemelut harga minyak bumi sudah bukan merupakan hal baru bagi penduduk bumi dan kita semua. Minyak bumi seperti identik dengan hidup atau mati karena tanpa energi pertumbuhan akan berhenti, sedangkan berhenti tumbuh adalah memulai kematian. Sejak kemelut pertama terjadi pada 35 tahun yang lalu, pelbagai usaha dilakukan untuk memperoleh energi alternatif. Akan tetapi, kita melihat sesudah 35 tahun itu ketergantungan manusia akan minyak bumi malahan menjadi-jadi. Semua energi alternatif yang ditawarkan tampaknya tidak bisa mengurangi ketergantungan itu. Malahan masalah baru muncul dengan tarik-menarik antara pangan dan energi karena bila pangan dibakar menjadi energi maka tanpa pangan pun manusia tidak akan bisa hidup atau memulai kematian juga (ingat Hukum Malthus). Produksi vs konsumsi Energi dapat diterjemahkan sebagai listrik karena semua kegiatan praktis dapat dilakukan degan listrik -- termasuk transportasi massal. Konsumsi listrik di Indonesia secara konsisten meningkat. Pada beberapa dekade terakhir abad yang lalu, dengan pertumbuhan ekonomi 6%-7% kebutuhan listrik tumbuh sekitar 10%-11%. Namun realitasnya malahan mencapai 17%. Antara tahun 2002 sampai 2007 tercatat peningkatan konsumsi dengan laju mencapai 20% (berdasarkan basis 2002) malahan pada tahun 2004 terjadi lonjakan menjadi 25%. Di sisi lain, produksi listrik hanya mampu melaju dengan 8,3%, malahan bila menggunakan basis tahun 2004, hanya 5,3%. Laju ini bisa dibuat sengaja atau memang kemampuannya seperti itu karena peralatan produksi yang semakin tua dan tidak cukupnya penambahan pembangkit baru. Dengan keadaan seperti itu maka cadangan produksi sangat tipis atau, dengan kata lain, keandalannya amat rendah. Penduduk Pulau Jawa mengonsumsi 78% dari seluruh produksi energi nasional. Ada korelasi yang positif antara jumlah penduduk dan konsumsi listrik karena hampir 50% energi listrik dipakai sebagai konsumsi dan hanya 40% dipakai untuk industri. Oleh karena itu, pembahasan akan difokuskan pada masalah energi di Pulau Jawa. Energi primer untuk pembangkit listrik adalah minyak bumi, batu bara, dan gas. Lain-lain seperti hidro untuk di Pulau Jawa sudah impossible karena terlalu banyak kesulitan nonteknis. Panas bumi juga impossible bukan saja jumlahnya yang tidak terlalu banyak (seluruh Indonesia hanya 15.000 MWe), tetapi hampir semuanya terletak di hutan lindung yang berdasarkan UU No. 41/1997 tidak diperkenankan untuk ditambang (terbuka). Masyarakat sudah lama menyaksikan percontohan penggunaan energi angin, surya atau biomass. Malahan akhir-akhir ini jarak pagar (Jatropha curcas), tebu, sagu, dan singkong telah dijadikan pusat perhatian. Akan tetapi, sesudah 35 tahun masa percontohan itu, masyarakat masih menggantungkan dirinya pada listrik yang diproduksi secara massal. Oleh karena itu, minyak bumi tetap menjadi andalan sebagai sumber pembangkit utama. Di sisi lain, energi primer ini sering mengalami gejolak yang sesungguhnya timbul bukan karena sebab supply and demand. Selain itu, produksi minyak bumi di Indonesia menurun dengan "konsisten". Dari angka 500 juta barrel pada tahun 2000, sekarang hanya tinggal 300 juta barrel. Ada pelbagai alasannya baik alasan alamiah ataupun bukan yang secara ringkas disebabkan merosotnya eksplorasi. Kontaminator langit Karena gejolak minyak bumi tersebut maka orang berpindah ke batu bara, salah satu sebabnya adalah karena cadangannya banyak. Dari sudut harga tidak terlalu berbeda karena yang dihitung adalah kesetaraan energinya, namun karena sumber batu bara menyebar di banyak bagian dunia, keandalan penyediaan cukup tinggi (minyak bumi berakumulasi di negara-negara Arab yaitu mencapai 65% dari cadangan dunia). Akan tetapi, di sisi lain, batu bara merupakan pencemar udara, baik berupa bahan padat (flying ash) maupun berbagai gas (COx, NOx2, SOx). Ancaman terbesar efek rumah kaca justru datang dari intensifnya pembakaran batu bara. Produksi batu bara Indonesia naik tajam. Pada tahun 200 produksinya hanya 300 juta SBM (Setara Barrel Minyakbumi), tetapi pada tahun 2007 sudah berlipat tiga kali. Pemecahan masalah energi dengan berpindah dari minyak bumi ke batu bara ini menjadi konsep kebijakan energi nasional sesuai Perpres No. 5 Tahun 2006. Energy-mix tahun 2005 menetapkan agar konsumsi energi primer andalan adalah batu bara (>33%) dengan mengungguli minyak (20%). Dengan pertumbuhan konsumsi energi di Pulau Jawa seperti dikemukakan di atas, dapat dibayangkan berapa banyak batu bara yang akan dibakar. Untuk mengurangi pengotoran di Pulau Jawa, cara lain adalah dengan membakar batu bara di mulut tambang (mine mouth). Kesulitan timbul karena lokasi tambang semuanya jauh dari grid Pulau Jawa-Bali. Oleh karena itu, langit yang biru seperti yang didambakan tampaknya akan semakin jauh. Komisi Langit Biru PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) pun ikut membuat skenario sumber energi lain dan keluar dengan angka 729 GW pada tahun 2030 atau lebih dari dua kali lipat produksi sekarang -- dari pembangkit listrik tenaga nuklir! Ada empat alasan pokok kenapa dalam 5 tahun terakhir ini energi nuklir seperti bangkit kembali. Malahan kalangan masyarakat energi menyebutnya sebagai renaissance, merujuk kebangkitan budaya pada abad pertengahan. Keempat alasan itu adalah (a) kenaikan yang konsisten akan kebutuhan energi; (b) ketergantungan pasokan dari pihak tertentu; (c) efek rumah kaca karena pembakaran batu bara yang besar-besaran (200 kg batu bara berkualitas 65.000 kalori per ton sama dengan 1 barrel minyak bumi); dan (d) gejolak harga. Oleh karena itu, banyak pihak melihat bahwa pada tahun 2030 industri energi nuklir sudah sedemikian rupa menyebar. Sekarang pun sebuah negara besar telah memberikan insentif untuk pembangunan energi nuklir berupa pencicilan pajak, jaminan pinjaman sampai 80%, dan bantuan tambahan bila ada kelambanan. Insentif ini berlaku sampai tahun 2025 (Price Anderson Act, 2004 dan Energy Act. 2005). Hal yang lebih mendorong lagi adalah penyederhanaan red tape sehingga "begitu shovel mengais tanah, begitu reaktor beroperasi". Penutup Suatu pertanyaan muncul, apakah atmosfer yang kondusif ini tidak dimanfaatkan untuk memecahkan permasalahan penyediaan energi di Indonesia, khususnya Pulau Jawa? Dengan energi nuklir, penyediaan energi bisa besar (1.000 MW) atau bisa kecil (90 MW). Bandingkan dengan Waduk Saguling yang memakan banyak ruangan tetapi hanya mampu membangkitkan (installed capacity) 700-800 MW, itu pun sangat tergantung musim. Di lain pihak, sebuah "isyarat" seharusnya dapat ditangkap dari kebijakan Energi Nasional Perpres No. 5 Tahun 2006. Isyarat itu dapat ditafsirkan sebagai memberi peluang untuk pengembangan energi nuklir karena dalam kelompok energi baru hanya nuklir yang secara operasional teknologis feasible. Energi baru yang lain seperti hidrogen statusnya masih jauh, CBM (coal bed methane) tidak akan ekonomis, liquified coal dan gas batu bara tidak akan kompetitif sehingga akhirnya hanya energi nuklir yang dimaksud isyarat tersebut karena energi nuklir sudah operasional. Perlu dicatat bahwa dalam tahun 2007 Korea Selatan mendirikan reaktor nuklir dengan menggunakan teknologinya sendiri. Selain itu, terbetik berita bahwa NEV (National Electric Company of Vietnam) telah menetapkan bahwa pada tahun 2020 Vietnam akan memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).Karena 439 PLTN sudah beroperasi di dunia, permasalahan PLTN di negara kita bukan berkaitan dengan teknologi. Bila sekarang program PLTN ditujukan untuk "bersambung rasa" dengan masyarakat, kegiatan itu sangat tepat dan perlu ditingkatkan sehingga masyarakat dapat menetapkan keputusannya dengan lebih rasional dan realitas sesuai dengan kenyataan yang sedang berlangsung di dunia. Di lingkungan internasional upaya semacam ini juga dilakukan dengan suatu sasaran shifting the people`s opinion.***Penulis, dosen pada Fakultas Teknik Geologi dan Program Magister Pengembangan Kewilayahan Pertambangan dan Energi Universitas Padjadjaran.Oleh Adjat Sudrajat
